Langsung ke konten utama

TEKS ULASAN: Perempuan dalam Rantai Patriarki

Nama : Arya Dimas Setyawan
NIM : E3119022
Tugas mata kuliah Bahasa Indonesia kelas B


Teks Ulasan
Sumber : Koran (Epaper) Media Indonesia Edisi 7 Maret 2020
Penulis : FURQON ULYA HIMAWAN furqon@mediaindonesia.com



Struktur Teks

NO
Struktur Teks
Kalimat
1
Identitas
Judul buku: Kim Ji-yeong,
Lahir Tahun 1982
Pengarang: Cho Nam-joo
Tahun terbit: 2019
Jumlah halaman: 192
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
2
Orientasi
GEMAS dan geram. Begitu kurang lebih perasaan yang muncul seusai menuntaskan novelet Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982. Karya penulis Cho Nam-joo itu dialihbahasakan dan diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada 2019.
Kim Ji-yeong ialah tokoh utama dalam buku yang tayang perdana di Korea Selatan pada 2016. Lewat kisah Ji-yeong, yang dituturkan lewat sudut pandang orang ketiga, pembaca akan menyimak betapa menyesakkannya hidup dalam masyarakat yang melanggengkan diskriminasi gender.
3
Tafsiran Isi
Cerita dibuka dengan keanehan perilaku Ji-yeong, kurang lebih setahun setelah ia melahirkan putrinya. Ji-yeong, saat itu musim gugur 2015, berusia 34 tahun. Ji-yeong acap bermimik dan berbicara seperti orang lain. Kadang seperti ibunya, kadang seperti kakak kelasnya. Sang suami, Jeong Dae-hyeon, akhirnya mengajak Jiyeong ke psikiater setelah Ji-yeong menampakkan keanehan itu saat di rumah mertuanya.
Cerita lalu bergulir mundur. Ji-yeong mulai mencicipi ketidakadilan sedari kecil. Saat itu, laki-laki dipandang lebih berharga ketimbang perempuan di masyarakat. Yang meresahkan, pelakunya, sering kali ialah para perempuan itu sendiri. Di keluarga Ji-yeong, neneknya marah jika ia mengudap susu adik laki-lakinya, dengan kemarahan yang seolah menyatakan, ‘Berani-beraninya kau mengambil barang milik cucu laki-laki kesayanganku?’ (hlm 22).
Adik laki-lakinya selalu mendapat makanan yang paling utuh dan bagus. Jika ada dua porsi kudapan, ia akan diberi satu porsi sendiri. Sementara itu, Jiyeong dan kakak perempuannya berbagi satu porsi tersisa. Adik laki-laki mereka selalu memperoleh barang-barang yang terlihat serasi, sementara barang-barang Ji-yeong dan kakaknya tidak pernah terlihat serasi (hlm 23).
Kesenjangan perlakuan tidak hanya di lingkup rumah tangga. Di SD Ji-yeong, anak laki-laki selalu mendapat nomor urut awal dan bisa makan siang lebih cepat, sementara anak perempuan mendapat nomor urut akhir dan harus makan siang terburu-buru.
Saat SMA, Ji-yeong dikuntit seorang siswa yang sekelas dengannya sepulang kursus. Namun, alihalih penghiburan, Ji-yeong yang ketakutan justru dimarahi sang ayah. Ayahnya berkata, ha rusnya Ji-yeong berhati-hati, harus berpakaian pantas, menghindari jalan yang berbahaya. Kalau tidak sadar dan tidak menghindar, ia sendiri yang salah (hlm 66).
Saat bekerja, seksisme pun tetap ada. Ji-yeong dan rekan sesama perempuan sering diberi klien yang sulit. Bukan karena lebih kompeten, melainkan karena bos mereka merasa lebih berharga mempertahankan karyawan lakilaki--dengan memberi mereka tugas yang lebih mudah--ketimbang karyawan perempuan.
Segala perlakuan yang dirasakan dan dilihat Ji-yeong sepanjang hidupnya itu barangkali terekam di alam bawah sadar, menjadikan ia menyubordinatkan dirinya. Saya katakan barangkali karena tidak ada narasi yang menjelaskan ketika Ji-yeong, di banyak scene, justru memilih diam saat ingin berargumen atau membalas komentar nyinyir. Namun, pada saat ia membalas pun, Ji-yeong malah menyesal. Itu perasaannya seusai marah lantaran suaminya berkata akan membantu mengurus anak. Pikir Ji-yeong, bukankah mengurus anak itu perkara bersama? Artinya, yang dilakukan sang suami mestinya bukan dianggap suatu ‘bantuan’, melainkan memang kewajiban.
4
Evaluasi
Dengan penuturan yang mengalir, buku ini menggambarkan diskriminasi gender yang begitu sistematis dalam publik Korea. Namun, penulis tidak asal ‘blablabla’. Ia kerap menyitat hasil riset il miah guna memperkuat narasinya. Umpama, saat menuturkan aborsi yang dilakukan ibu Ji-yeong saat janin ketiganya ialah perempuan. Penulis menyertakan latar tentang kebijakan keluarga berencana di Korea yang pada satu waktu melegalkan aborsi dengan alasan medis dan ‘janin perempuan’ entah bagaimana sering jadi ‘alasan medis’. ‘Hal itu membuat pemeriksaan jenis kelamin dan aborsi atas janin perempuan meluas’, seperti ia kutip dari buku Peluang Keluarga karya Park Jae-heon et al.
Buat pembaca yang mencari ‘jawaban’, ini mungkin bukan buku kesukaan Anda. Tidak ada konklusi atas kisah Ji-yeong. Malah, penulis memasukkan twist yang bisa jadi menggelisahkan pengharap ‘happy ending’.
Kemudian, kendati menyebutkan soal depresi pascakelahiran, penulis tak mengelaborasi lebih jauh dari aspek klinis. Walakin, dari fokus penceritaan, bisa disimpulkan depresi itu bukan semata dipicu lelahnya menjadi ibu, melainkan akumulasi dari hal-hal yang sekian lama mengendap di diri Ji-yeong sebagai perempuan yang hidup dalam masyarakat misoginis--sikap berprasangka negatif terhadap perempuan yang lantas melahirkan diskriminasi, seksisme, juga kekerasan.
5
Rangkuman Evaluasi
Yang pasti, cerita Ji-yeong ialah cerita banyak perempuan. Bukan hanya di Korea, melainkan juga di berbagai tempat di muka Bumi ini, dari zaman bahela hingga zaman digital. Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982 sepatutnya menjadi refl eksi agar kita membuat dunia ini lebih baik, lebih adil terhadap perempuan. Kalau tidak keburu untuk kita, paling tidak untuk anak-anak perempuan kita kelak.


Komentar Terhadap Teks Ulasan

Menurut saya, teks ulasan atau resensi buku yang berjudul Kim-Ji-yeong masih memiliki berbagai kekurangan. Salah satu kekurangan yang dapat diketahui dengan mudah adalah bagian evaluasi yang sulit dipahami apabila pembaca adalah orang awam, disitu tidak sebut dengan jelas sasaran pembaca dari buku ini adalah kalangan mana. Mengingat buku ini mengisahkan tentang isu diskriminasi perempuan yang berkembang di kehidupan keluarga yang berada di negara Korea. Jika dipahami secara mendalam, dengan bekal pengetahuan mengenai kehidupan sosial dan masyarakat, maka buku ini dapat dicerna dengan baik inti maksudnya. Namun apabila hanya untuk mencari hiburan, buku ini hanya terkesan mengisahkan seseorang dengan berbagai masalah dalam kehidupannya. Selain itu, kelebihan yang dijelaskan juga hanya dari segi penulisan dan cerita, untuk buku itu sendiri dari cover ataupun secara visual tidak dijelaskan apakah termasuk kelebihan atau kekurangan. Selebihnya penulis memberikan penjelasan buku ini secara informatif dan rinci, sehingga pembaca dapat  memahami secara singkat isi buku tersebut sekaligus dapat memperluas pengetahuan mengenai pentingnya isu diskriminasi perempuan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memelihara Imajinasi

 03-02-2024 Saya tahu bahwa orang-orang selalu berusaha untuk optimis, menghadapi segala masalah dengan percaya diri dan yakin selalu ada harapan meskipun kenyataan memberikan tanda bahwa tidak ada kemungkinan lain selain berhenti, menyerah, atau gagal. Kita selalu diberikan kata-kata bahwa kita bisa menangani semua hal, selalu dapat berkembang dan belajar agar menjadi pintar. Padahal, kita juga mengalami stuck, selalu mengalami kegagalan, bahkan tak jarang kita juga selalu sakit. Rasa yakin itu kemudian tetap ada sekalipun gagal ada di depan mata, sekalipun orang lain tidak percaya dan memang kenyataannya tidak seperti itu, orang pasti akan menunjukkan bahwa kitalah yang salah. Sedikit kata penganatr yang ngelantur sebelum membahas inti dari tulisan ini, yaitu tentang memelihara imajinasi. Merefleksikan proses kemarin selama perkuliahan, khususnya prakitkum, saya banyak menemukan hal-hal yang menunjukkan bahwa saya memang tidak sepintar yang saya bayangkan. Pada posisi itu, saya m...

Raungan dalam hening

 . Hi, Arya kembali lagi. Bakal certia dikit tentnag keresahan sejauh ini. Aku sendiri merasa kurang percaya diri dan cukup insecure sejak kecil, bahkan mungkin sejak TK atau sebelum sekolah. Aku orangnya cukup pendiam dan pemalu sejak dulu. Di TK, aku ga begitu aktif dalam kegiatan, kurang interaktif juga dengan teman-teman lainnya. Di lingkungan rumah, aku juga cukup terbatas, banyak aturan dari wali yang mengasuh. Aku merasa memiliki kebebasan yang kurang dibanding yang lain, meskipun aku kadang cukup penakut untuk mencoba hal baru seperti teman yang lain. Aku dikenal dari dulu memang nggak keren, kurang update soal tren-tren yang sedang diikuti anak-anak seumuranku. Aku justru malah sering dimanfaatkan atau ditipu ketika ingin belajar atau ikut bermain mengikuti tren bersama teman.Sejak SD, aku juga memang jarang memiliki teman. Di TK pun hanya kenal beberapa dan tidak begitu akrab, paling hanya akrab ke 1 2 anak saja. Aku juga sudah tidak akrab lagi dengan keduanya, setidaknya...

Disconnected from the world

 ... Lagu yang cukup relate, beberapa liriknya aja sih dan maknanya yang cukup 'kena'. Lagunya keshi - LIMBO yang biasa dipake buat konten karena liriknya bagus dan nadanya mungkin banyak disuka cewe hahaha. Ada bagian lirik yang maknanya kurang lebih: Kita mungkin punya mimpi atau aspirasi, tapi malah jatuh ke dalam hal berulang untuk tidak melakukan apapun dalam mencapai itu. Kita selalu merasa bersalah atas diri kita karena tidak berupaya dan merasa upaya yang dilakukan hanya akan sia-sia karena tidak berdampak atau upaya yang kita lakukan tidak ada gunanya. Ya itu kurang lebih apa yang dialami sejauh ini. Gatau kenapa, beberapa waktu ini cukup membuat perasaan ketidakterhubungan diri ke lingkungan kuat. Beberapa info di perkuliahan banyak yang terlewat, sering ngehang kalo ngobrol sama teman, banyak ga nyambungnya. Di akademik, banyak materi yang seharusnya ingat jadi lupa, suka bengong dan sulit fokus ketika kelas. Banyak yang lain punya peran di kampus, punya kerjaan yang...