Langsung ke konten utama

privilese, nasib, usaha sia-sia

' Aku masih ingat betul, namun agak lupa juga. Aku membaca artikel yang membahas privilese tidak mempengaruhi tingkat kekuatan atau ketahanan seseorang untuk bertahan hidup. Kemudian disusul artikel dalam hidup kamu memang harus berjuang, sekeras apapun itu, tidak ada jalan untuk evakuasi. Aku dari dulu memang percaya bahwa usaha itu akan menghasilkan hal-hal yang baik, apalagi kalau bisa lebih maksimal. Jika aku salah, kalian para pembaca bisa memberi kritik atau saran untuk tulisanku kali ini.

Banyak ide, buku, penelitian ilmiah, dan banyak hal lain yang berusaha menjawab tentang pencapaian seseorang itu dapat tercapai karena faktor apa. Setelah aku membaca beberapa referensi yang menguatkan maupun melemahkan suatu ide bahwa suatu usaha atau kerja keras yang dilakukan dengan konsisten akan menghasilkan kesuksesan atau tujuannya dapat tercapai, aku pikir masih kurang menjelaskan dan aku masih yakin seseorang dalam mencapai tujuan ada privilese yang tidak dimiliki kebanyakan orang lainnya.

Aku punya keyakinan itu berangkat dari pengalaman diri sendiri dari kecil sampai dewasa. Aku dilahirkan tidak di dalam lingkungan orang yang paham mengenai pendidikan, hanya memahami pendidikan sebagai bahan prestise semata. Aku pada awalnya tidak mengenal indahnya ilmu pengetahuan dan pendidikan dengan baik karena orang yang mengenalkan serta lingkungan sekitar tidak mendukung hal itu dan selamat bagi kalian yang memiliki faktor itu, kalian punya satu privilese.

Dari segi pertumbuhan, aku tumbuh layaknya anak pada umumnya. Namun yang perlu dipahami adalah setiap anak memiliki waktu pertumbuhan yang berbeda, meskipun secara eksplisit seolah sama. Dan faktor nutrisi serta bimbingan orang tua atau lingkungan menjadi faktor yang penting, apalagi kalau dilahirkan dari orang tua yang dulunya memang orang yang cerdas dan paham pentingnya pengetahuan serta tau cara menyampaikannya dengan baik. Aku sendiri merasa mendapat nutrisi yang cukup, setidaknya makan masih cukup. Aku bersama nenek yang selalu masak aneka masakan sayur, dia merasa ketika memberi asupan sayur dan kebutuhan gizi lainnya nutrisiku pasti terpenuhi sedangkan nenekku tidak tau kebutuhan nutrisiku seperti apa dan caranya dalam memasak juga belum tentu bisa mempertahankan kualitas gizi dalam sayuran atau bahan masak lain. Buat orang tuanya yang paham asupan nutrisi anaknya dan paham cara untuk mengolah sayur dan komponen dalam masakan kalian selamat, privilise kamu bertambah lagi.

Dari sisi relasi dan status sosial atau kekayaan tidak perlu dibahas sepertinya. Kita di Indonesia dengan nilai dalam masyarakat yang mungkin sudah mendarah daging bahwa seseorang yang punya posisi atau jabatan, serta memiliki kekayaan yang melimpah cenderung dihormati dan biasanya punya banyak relasi. Ditambah lagi kesenjangan dalam masyarakat utamanya masalah kesempatan untuk sejahtera sulit didapat sehingga membentuk batas-batas antara yang kaya dan yang miskin. Itu contoh nyata bahwa privilise punya peran dalam hidup seseorang, meskipun masih banyak orang yang beranggapan hanya berpengaruh sampai level tertentu, kemudian akan ada celah yang bisa dimanfaatkan orang dengan keterbatasan fasilitas untuk melebihi orang dengan privilese berupa kekayaan. Tapi orang yang bisa seperti itu tentu memiliki privilese lebih yang tidak dimiliki orang kaya (ingat, privilese tidak sekedar harta benda, jabatan atau relasi).

Kita bahas dari sisi spiritual. Aku pernah mengalami posisi ketika mempertanyakan peran Tuhan dalam kehidupan. Seperti ajaran-ajaran yang telah aku serap sejak kecil bahwa kuasa Tuhan ini tidak terbatas, namun di saat itu juga banyak orang yang kelaparan dan mendapat perlakuan yang tidak semestinya. Aku masih berpikir optimis, mungkin karena faktor budaya misal orang cenderung malas maka Tuhan tidak memberi akses akan kesejahteraan, tapi beberapa kali aku melihat orang sudah berusaha keras namun pada akhirnya juga tidak maksimal, mungkin karena hanya sebatas untuk pemenuhan kebutuhan, untuk biaya pendidikan masih tidak cukup. Aku sempat baper saat itu, kenapa Tuhan seperti ini sebenarnya bisa saja dibuat agar semua orang di muka bumi ini sejahtera, minimal berkecukupan saja. Aku pernah di posisi kekosongan secara spiritual, hanya fokus pada usaha yang aku pikir membuahkan hasil, justru berakhir sia-sia. Banyak orang yang mendukung bahwa aku belajar ini bagus dan sebagainya, padahal tidak menghasilkan apa-apa juga. Aku juga berpikir, bahwa Tuhan sebenarnya sudah menentukan hidup kita seperti apa. Benar adanya bahwa takdir ada yang masih bisa diubah, namun menurutku itupun ada batasnya, jadi sebenarnya hidup kita juga sudah ditentukan, yang berubah tidak sebanyak apa yang kita harapkan, misal suatu perubahan terjadi melebihi ekspektasi kita, itu pun sebenarnya sudah didesain Tuhan, tinggal sikap kita atas hal itu yang membuat seolah itu hal yang hebat. Jadi hidup kita tidak benar-benar bisa diubah, hanya saja ketika kita berusaha untuk sesuatu, hal tertentu akan terjadi seperti kesuksesan atau kegagalan dan itu sudah ditentukan oleh Tuhan. Ada batasnya. Ini adalah privilese diatas segala privilese karena yang mengatur tuhan sendiri. Kita tidak tau usaha maksimal kita itu dapat mencapai suatu posisi atau keadaan seperti apa, dan ujungnya sudah digariskan oleh Tuhan. sekeras apapun usaha kalau sudah menemui garis Tuhan, tidak akan lebih lagi.

Sebenarnya masih banyak bentuk-bentuk privilese, yang secara fisik maupun nonfisik, secara sadar maupun tidak sadar. Aku hanya mengulas dari beberapa sisi di atas dan masih ada hal lain seperti orang-orang tidak terduga yang datang dalam hidup kita kemudian langsung pergi, tapi meninggalkan ilmu yang mendorong kita untuk menjadi lebih baik. Kita hidup tidak benar-benar dalam posisi pemula yang sama, namun sudah ditentukan arahnya tanpa kita sadari. Menembus batas diri menurutku omong kosong, karena dia tidak tau bahwa sebenarnya itu bukan batasan dirinya, jika itu memang batasan diri tentu tidak akan diketahui apa lagi untuk dijangkau. Orang bilang manusia tidak punya batas, tapi manusia itu sendiri yang membatasi. Ada benarnya, namun menurutku ya manusia memang terbatas, terlepas dari manusia itu sendiri bisa membatasi dengan sadar, berarti manusia juga punya kesadaran untuk lebih dari batasan dia dan dapat diasumsikan bahwa itu bukan batasan diri manusia yang sebenar-benarnya. Mungkin anggapan menembus batas diri adalah batasan diri versi diri sendiri, bukan batasan yang sebenarnya.

Kenapa aku ingin membahas kelemahan manusia yang banyak tidak disadari ini? karena setelah aku pikir-pikir, sudah menjalani hidup selama kurang lebih mendekati 21 tahun, banyak hal-hal yang tidak bermanfaat karena aku berpikir diluar batas diri, harusnya aku juga punya kesadaran bahwa itu bukan batasan diri yang sebenarnya tapi setelah dicoba belajar dan evaluasi, hasilnya tidak jauh beda, sekalipun mengubah pandangan sepenuhnya, hasil tetap sama. Terima kasih Tuhan atas segala yang engkau berikan, namun hambaMu tidak cukup hanya membawa bekal ini untuk minimal menghindari nilai-nilai sosial yang telah ada yang tidak sesuai dengan jati diriku ini. Ada kesenjangan peran di dalam diriku, apalagi semenjak dihantui hal buruk yang akan terjadi di masa depan, tidak punya kontribusi juga dan tidak punya kemampuan yang bagus untuk mencari pekerjaan. Tidak tau hidupku bakal sesusah apa nantinya, usahaku sepertinya sia-sia. Aku berusaha ikhlas tidak mengharap hasil, tapi orang-orang sekitarku, orang yang biasa bekerja denganku selalu mengharap hasil. Aku menghilangkan hasil karena tidak ingin punya ekspektasi dan kekecewaan atas apa yang telah dilakukan. Karena aku sudah terlalu larut dalam kecewa, jadi buat apa lagi? itu juga tidak akan bisa mengubah apapun juga.

Tidak semua privilese bisa membuat kita berhasil, namun tidak ada privilese rasanya pahit juga. Sebenarnya aku bingung mau melanjutkan tulisan yang seperti apa lagi, karena di otak terlalu banyak pikiran, ide, bahasan yang perlu disampaikan tapi tidak runtut, cuma bikin pusing.

Aku harap di masa depan otak bisa seperti helm, yang bisa dilepas kapanpun, aku ingin istirahat.


Komentar

  1. Balasan
    1. betul karena asupan gizi mempengaruhi pertumbuhan, terutama di otak. kalo otaknya tumbuh dengan baik, otomatis dia punya privilege secara biologis otaknya bagus sehingga peluang dia untuk cerdas atau pintar lebih tinggi.

      Hapus
    2. mereka yang seperti itu, tanpa perlu usaha yang besar bisa menghasilkan hal-hal yang bagus, sedangkan orang dengan otak pas-pas an atau malah dibawah standar harus berusaha lebih dan cari strategi biar bisa mengimbangi ... kurang lebih seperti itu.

      Hapus
    3. i realise now that sayur is not right thing to determine privilese wkwkwk but ya intinya privilese yg tepat itu ketika orang tua tau kalo dia memberikan asupan gizi dan dia mampu mengupayakannya tanpa upaya/campur tangan dari kita dan tinggal terima jadi terus makan aja, itu sudah termasuk privilese.

      Hapus
  2. menulis adalah bukti seringkali overthink

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memelihara Imajinasi

 03-02-2024 Saya tahu bahwa orang-orang selalu berusaha untuk optimis, menghadapi segala masalah dengan percaya diri dan yakin selalu ada harapan meskipun kenyataan memberikan tanda bahwa tidak ada kemungkinan lain selain berhenti, menyerah, atau gagal. Kita selalu diberikan kata-kata bahwa kita bisa menangani semua hal, selalu dapat berkembang dan belajar agar menjadi pintar. Padahal, kita juga mengalami stuck, selalu mengalami kegagalan, bahkan tak jarang kita juga selalu sakit. Rasa yakin itu kemudian tetap ada sekalipun gagal ada di depan mata, sekalipun orang lain tidak percaya dan memang kenyataannya tidak seperti itu, orang pasti akan menunjukkan bahwa kitalah yang salah. Sedikit kata penganatr yang ngelantur sebelum membahas inti dari tulisan ini, yaitu tentang memelihara imajinasi. Merefleksikan proses kemarin selama perkuliahan, khususnya prakitkum, saya banyak menemukan hal-hal yang menunjukkan bahwa saya memang tidak sepintar yang saya bayangkan. Pada posisi itu, saya m...

Raungan dalam hening

 . Hi, Arya kembali lagi. Bakal certia dikit tentnag keresahan sejauh ini. Aku sendiri merasa kurang percaya diri dan cukup insecure sejak kecil, bahkan mungkin sejak TK atau sebelum sekolah. Aku orangnya cukup pendiam dan pemalu sejak dulu. Di TK, aku ga begitu aktif dalam kegiatan, kurang interaktif juga dengan teman-teman lainnya. Di lingkungan rumah, aku juga cukup terbatas, banyak aturan dari wali yang mengasuh. Aku merasa memiliki kebebasan yang kurang dibanding yang lain, meskipun aku kadang cukup penakut untuk mencoba hal baru seperti teman yang lain. Aku dikenal dari dulu memang nggak keren, kurang update soal tren-tren yang sedang diikuti anak-anak seumuranku. Aku justru malah sering dimanfaatkan atau ditipu ketika ingin belajar atau ikut bermain mengikuti tren bersama teman.Sejak SD, aku juga memang jarang memiliki teman. Di TK pun hanya kenal beberapa dan tidak begitu akrab, paling hanya akrab ke 1 2 anak saja. Aku juga sudah tidak akrab lagi dengan keduanya, setidaknya...

Disconnected from the world

 ... Lagu yang cukup relate, beberapa liriknya aja sih dan maknanya yang cukup 'kena'. Lagunya keshi - LIMBO yang biasa dipake buat konten karena liriknya bagus dan nadanya mungkin banyak disuka cewe hahaha. Ada bagian lirik yang maknanya kurang lebih: Kita mungkin punya mimpi atau aspirasi, tapi malah jatuh ke dalam hal berulang untuk tidak melakukan apapun dalam mencapai itu. Kita selalu merasa bersalah atas diri kita karena tidak berupaya dan merasa upaya yang dilakukan hanya akan sia-sia karena tidak berdampak atau upaya yang kita lakukan tidak ada gunanya. Ya itu kurang lebih apa yang dialami sejauh ini. Gatau kenapa, beberapa waktu ini cukup membuat perasaan ketidakterhubungan diri ke lingkungan kuat. Beberapa info di perkuliahan banyak yang terlewat, sering ngehang kalo ngobrol sama teman, banyak ga nyambungnya. Di akademik, banyak materi yang seharusnya ingat jadi lupa, suka bengong dan sulit fokus ketika kelas. Banyak yang lain punya peran di kampus, punya kerjaan yang...