.
Semoga kita semua selalu diberi keberuntungan, kesehatan, dan keselamatan. Penulis tergerak untuk menulis kali ini karena ada desakan dari banyak dan riuhnya keresahan-keresahan beberapa hari ke belakang. Tulisan ini mungkin tidak berbobot, tidak punya dasar teori atau pemaparan ahli, bahkan penelitian sekalipun. Maka dari itu, tidak disarankan untuk menganggap tulisan ini terlalu serius. Maksimal dan paling hati-hati, cukup dijadikan refleksi bagi kehidupan kita semua.
Kita mulai dengan bahas masalah privilese yang dalam KBBI adalah hak istimewa yang setiap orang itu belum tentu punya. Hal tersebut tidak terpisah dengan yang namanya prestise dalam KBBI berarti wibawa. Dengan prestise yang tinggi akan membawa peluang dan hak-hak istimewa yang selanjutnya biasa disebut sebagai privilese. Jujur resah sekali apabila orang yang jelas-jelas berasal dari kelas borjuasi, dengan akses yang baik seolah-olah ingin menyatakan bahwa pergerakan untuk mengkritisi sekaligus memperjuangkan hak-hak masyarakat haruslah murni dan tanpa campur tangan para oligarki. Sepertinya memang sudah hancur sejak dalam sistem, sistem yang sudah lama membusuk dna tidak 'dibersihkan' dan 'disembuhkan'. Itu hanya seperti lingkaran setan, penelitian atau kajian sangat butuh banyak resource, termasuk pendanaan. Memang masih mungkin untuk independen utamanya dalam pendanaan, namun seiring berjalannya waktu dan seiring besarnya gerakan, maka tidak menutup kemungkinan akan tetap bergantung pada sumber-sumber oligarki atau ditungganggi oposisi. Pola yang sudah tidak asing lagi, meskipun banyak yang menyangkal mereka independen. Tidak dapat dipungkiri juga ada beberapa gerakan independen yang masih bertahan dan bisa besar ditengah terpaan dan hantaman dari kaum oligarki. Kaum oligarki disini merupakan mereka yang ada kepentingan terutama dalam pemerintahan saat ini. Kita bisa menyuarakan seperti ini karena ada resource yang disediakan oleh oligarki itu. Kita tidak benar-benar berdikari seperti yang diharapkan.
Saya menjadi ingat bahwa manusia itu dilihat dari sisi alaminya, tujuannya tidak lain hanyalah untuk bertahan hidup atau survival. Korelasi sifat alami manusia dengan kasus privilese dan prestise sebelumnya dapat ditemui, misal seseorang bernama Mana mempunyai resource yang banyak dan memungkinkan untuk memulai gerakan perubahan. Seharusnya Mana bisa menginisiasi karena dia juga tertarik akan hal tersebut, namun dia mendapat ancaman dari seseorang yang mempunyai otoaritas penuh di daerah tersebut yang tidak memungkinkan orang lain membantu karena sudah membawa ancaman juga terhadap keluarga besarnya. Dengan sifat naluri alaminya, Mana memutuskan memilih melindungi keluarga dan mengurungan niat untuk menegakkan apa yang seharusnya ditegakkan. Meskipun berat juga untuk berhenti berjuang yang manfaatnya juga akan dia rasakan nantinya. Tapi reaksi survival dan hal tersebut membuat seseorang berpikir tidak rasional, karena hanya memikirkan jangka pendek saja berakibat batal/tertunda/gagal suatu gerakan. Tidak semua orang punya keberanian misal seperti Halit yang kebal terhadap berbagai ancaman, meskipun jika dirasa ya tetap tidak mengenakkan dan membuat tidak tenang. Selama tidak ada gerakan kolektif yang memiliki pemikiran yang kurang lebih menuju satu hal: perubahan, serta dilaksanakan tidak hanya dari gerakan aksi namun secara revolusioner, yang tentu sangat berisiko sekali dan tidak terpikirkan untuk saat ini. Kalaupun kepikiran mana mungkin berani melakukan *peace.
Keresahan ini datang dua kali. Pertama ketika penulis mengikuti rangkaian acara International Youth Leadeship Summit 2021. Dari namanya saja sudah membuat kita bergidik, isinya calon-calon pemimpin bangsa dari berbagai latar belakang dan negara di dunia. Saya pikir disana akan ada pembahasan secara mendalam mengenai solusi isu masyarakat dan fokus pada nilai terapan, tidak hanya ide semata. Namun, ekspektasi penulis melambung tinggi, pembahasannya hanya itu-itu saja, tidak beda dengan diskursus penulis dengan teman-teman kampus saat jadi maba. Mereka semua punya privilese lebih daripada orang-orang yang butuh aspirasi, yang butuh hidupnya diperbaiki dan yang mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Masyarakat berprivilese tentunya masih punya bias memandang masalah dalam masyarakat terutama permasalahan kemiskinan. Meskipun, penulis juga sadar akan orang dari kalangan masyarakat miskin punya privilese yang sama dengan masyarakat menengah atas, meskipun jumlahnya bisa dihitung dengan jari, karena usaha yang ditorehkan melebihi usaha orang berprivilese. Hal tersebut makin membuat pesimis saja akan gerakan-gerakan seperti itu yang hanya berhenti di ide, sekalipun ada aksi, tidak berdampak secara signifikan dan tidak benar-benar mengubah setidaknya sebagian besar kesejahteraan atau pemenuhan hak masyarakat. Keresahan kedua muncul dari gerakan angkatan. Di satu sisi memang benar, memulai gerakan berasas moral haruslah bersih dari berbagai kepentingan utamanya kepentingan penguasa. Tapi, gerakan juga membutuhkan sumber daya dan yang menguasai sumber daya untuk mendorong gerakan siapa lagi selain yang memiliki kepentingan. Di sisi lain, sangat mendukung gerakan yang dimotori oleh pihak berkepentingan agar menaikkan engagement, sehingga tujuan untuk menebar kesadaran isu akan meluas. Kita harus berpegang pada esensi gerakan ini yang berasaskan moral, harus mengevaluasi kembali meskipun ini kerjasama dengan CSR perusahaan, tetapi harus dipahami juga dampak terhadap esensi gerakan, sehingga gerakan ini tidak sekedar dicap "nyari tenar saja".
Lanjut ke bahasan pandangan keliru tentang dunia kampus. Tulisan ini didedikasikan kepada mereka yang merasa putus asa dengan jurusan atau kampus yang saat ini dijalani. Kecewa karena faktor tidak favorit, prospek kerja, akreditasi, lingkungan, dan hal lainnya. Perlu disadari bahwa kita tidak tau apa yang terjadi dengan diri kita di masa depan, kuliah kita hanya salah satu penentu dari ribuan atau bahkan mungkin jutaan atau lebih faktor yang mempengaruhi kehidupan kita terlepas dari sukses atau gagal nantinya. Kita sebagai manusia lebih baik memanfaatkan kesempatan yang saat ini kita punya, hal-hal yang saat ini kita bisa usahakan. Itu lebih baik dan mungkin saja membawa hal yang jauh diluar dugaan kita, bahkan mungkin definisi kesuksesan kita bisa dipatahkan dengan usaha maksimal kita memanfaatkan sumber daya dan peluang yang ada saat ini. Hanya fokus pada sumber daya saat ini yang masih kita ketahui untuk menyongsong masa depan yang harapannya lebih baik. Penulis sendiri juga tidak bisa mengatakan kuliah di kampus A auto sukses karena terbaik atau di kampus Z auto menganggur karena dipandang sebelah mata. Semua itu bukan ada di kampus, tapi di diri kita masing-masing. Bagaimana kita menilai kesuksesan adalah penentu yang vital bagi diri sendiri dalam mencapai standar kesuksesan, semakin tinggi maka makin sulit untuk diraih apalagi tanpa menimbang kemampuan diri. Definisi sukses yang tinggi dengan kemampuan yang tidak cukup tentu hanya menjadi penyakit hati atau jadi penyesalan seumur hidup. Bagi yang punya kesempatan kuliah mohon untuk dimanfaatkan sebaik mungkin, dimanapun itu dan program studi apapun itu. Kembangkan potensi diri dan maksimalkan dalam pemanfaatan peluang-peluang yang ada.
Saya Arya, signin out.
🌜bahan overthinking malam"
BalasHapus